Minggu, 30 Mei 2010

Surat dari seorang ayah

Nak, menjadi ayah itu indah dan mulia. Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini. Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Meskipun demikian, ketahuilah, menjadi ayah itu berat dan sulit. Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti menemukan makna keberadaanku dan tugas kebapakanku terhadapmu. Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah masa terindah dan paling aku banggakan didepan siapa pun. Bahkan dihadapan tuhan, ketika aku duduk berduaan berhadapan denganNya, hingga saat usia senja ini.

Nak, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak lagi terpisahkan oleh apapun jua. Tapi seiring waktu, ketika engkau suatu kali telah mampu berkata “tidak”, timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya. Engkau bukan milikku atau milik ibumu. Engkau adalah milik tuhan. Tak ada hakku menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya hanya untuk tuhan.

Sejak saat itu, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada pemilikmu yang sebenarnya. Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi dan dicintai tuhan. Inilah usaha terberatku, karena artinya aku harus lebih dulu memberi contoh kepadamu untuk dekat dengan tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai dengan keinginan tuhan. Agar perjalananmu mendekatiNya tak lagi terlalu sulit.

Kemudian, kita pun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam jemariku dan merapatkan jiwa kita satu sama lain. Agar dapat kau rasakan perjalanan rohaniah yang sebenarnya. Saat engkau mengeluh berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang tak boleh berhenti. Perjalanan mengenal tuhan tak kenal letih dan berhenti. Berhenti berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air matamu ketika engkau hampir putus asa.

Akhirnya nak, kalau nanti ketika semua manusia dikumpulkan dihadappan tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dariNya, aku akan ikhlas. Karena seperti itulah aku didunia, tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin saat itu aku melihatmu dekat dengan tuhan. Aku akan bangga nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita kembalikan kepada pemiliknya.


1 komentar:

  1. Diambil dari buku kubik leadership hlm 265-266 edisi revisi cetakan kedua

    BalasHapus